Gelar Pahlawan Nasional 2025 Presiden Ke-2 Republik Indonesia Jenderal Besar HM. Soeharto
Soeharto yang merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Dengan latar belakang sebagai anak petani yang sederhana, Soeharto berhasil meraih posisi tertinggi sebagai Presiden Ke-2 Republik Indonesia. Soeharto tumbuh dalam keluarga petani sederhana dan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai tradisional.
Biografi dan Karier Politik
| Nama Lengkap | H.Muhammad Soeharto |
|---|---|
| Nama panggilan | Soeharto |
| Tempat dan tanggal lahir | Desa Kemusuk, Yogyakarta, 8 Juni 1921 |
| Agama | Islam |
| Orang Tua | Kertosudiro (Ayah) dan Sukirah (Ibu) |
| Pendidikan |
|
| Karier Politik |
|
| Pasangan dan Anak-anak |
|
| Kota asal | Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta |
Pak Harto adalah Presiden RI kedua (1968-1998), dengan masa jabatan yang paling lama menjabat yaitu 32 tahun, jabatan terlama sepanjang sejarah republik ini yakni. Beliau populer dengan sebutan Bapak Pembangunan karena pada masa jabatannya, Indonesia dinilai mengalami industrialisasi yang signifikan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan taraf pendidikan, dan kebangkitan kewirausahaan.
Pak Harto telah merintis karier di militer sejak masa penjajahan Belanda dan turut berperan aktif dalam episode sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 serta Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Beliau adalah salah satu dari tiga figur di Indonesia yang mendapat pangkat Jenderal Besar, pangkat tertinggi di TNI AD (bersama Jenderal Sudirman dan Jenderala Abdul Haris Nasution).
Beliau adalah pencetus ide fusi parpol pada tahun 1973, yakni penyederhanaan jumlah partai politik peserta Pemilu menjadi tiga yaitu: PDI, PPP dan Golkar.
Beberapa peninggalan monumental era Pak Harto diantaranya: ASEAN, Integrasi Timor Timur, TMII, Bandara Soekarno-Hatta, jalan tol Jagorawi, program Repelita, program Keluarga Berencana dan lain sebagainya.
Masa Kecil Soeharto
Soeharto merupakan seseorang yang lahir di Yogyakarta, lebih tepatnya di desa Kemusuk, Argomulyo. Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921. Ketika lahir, Soeharto bisa dikatakan sebagai keluarga yang kurang mampu.
Soeharto adalah seorang anak yang lahir dari ayah yang bernama Kertosudiro dan ibu yang bernama Sukirah. Ayah Soeharto merupakan seorang petani di desanya dan seorang pembantu lurah dalam mengairi persawahan desa.
Saat Soeharto belum berusia 40 hari, sang ibu menitipkan anaknya kepada kakek atau Mbah Kromo. Nama asli Mbah Kromo adalah Kromodiryo yang di mana ia merupakan seorang dukun bayi yang membantu proses kelahiran Soeharto.
Soeharto tinggal di rumah Mbah Kromo bisa dibilang cukup lama sekitar empat tahun. Selama empat tahun itulah, Soeharto bisa merasakan dan mendapatkan kasih sayang seperti orang tua yang diberikan oleh Mbah Kromo. Dari rumah Mbah Kromo juga, Soeharto bisa belajar berdiri bahkan sampai bisa berjalan.
Saat masih anak-anak, Soeharto sering sekali diajak Mbah Kromo pergi ke sawah. Soeharto sangat senang karena ketika di sawah ia bisa bermain membalik-balikkan, memberikan perintah kepada kerbau ketika membajak sawah.
Soeharto lihai memberikan instruksi seperti maju, belok kiri, belok kanan, dan ia juga sangat suka bermain air dan mandi di atas lumpur. Selain itu, hal yang paling senang ia lakukan adalah mencari dan menangkap belut atau ikan. Oleh karena itu, sampai dengan masa tuanya, Soeharto masih sangat gemar atau memiliki hobi memancing ikan.
Orang tua Soeharto berpisah, kemudian ibu Soeharto (Sukirah) menikah lagi dengan seorang laki-laki yang bernama Atmopawiro dan memiliki tujuh orang anak. Sedangkan, ayah kandung Soeharto (Kertosudiro) juga menikah lagi dan mempunyai empat orang anak.
Setelah sekian lama atau kurang lebih selama empat tahun tinggal bersama di rumah Mbah Kromo, sang ibu Soeharto (Sukirah) mengambil anaknya dan dibawa pulang ke rumah ayah tiri Soeharto (Atmopawiro).
Terkadang beberapa kali, ayah kandung Soeharto datang untuk melihat keadaan anaknya. Hingga pada suatu waktu, Soeharto sangat senang kedatangan ayah kandungnya karena dibawakan seekor kambing.
Pendidikan Soeharto
Saat berusia delapan tahun, Soeharto baru masuk sekolah dasar, tetapi ia beberapa pindah sekolah. Pada awal masuk sekolah, Soeharto bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Puluhan, Godean. Namun, ketika ibu dan ayah tirinya pindah rumah ke Kemusuk Kidul maka Soeharto juga pindah sekolah ke Sekolah Dasar (SD) Pedes.
Kekhawatiran Kertosudiro (ayah kandung Soeharto) akan masa depan anaknya maka ia menitipkan Soeharto kepada keluarga Prawirowihardjo yang bertempat tinggal di Wuryantoro, Purwodadi, Jawa Tengah.
Prawirowiharjo merupakan suami dari adik Kertosudiro atau adik ipar Kertosudiro. Prawirowiharjo merupakan seorang mantri tani dan ayahnya adalah seorang pengusaha yang sudah terkenal yaitu Sudwikatmono.
Saat tinggal bersama bibi dan pamannya, Soeharto sangat senang karena sering diajak ke sawah oleh pamannya sehingga ia perlahan-lahan bisa mengerti seluk beluk tentang dunia pertanian. Untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), Soeharto memilih untuk pulang ke kampung halamannya di Kemusuk.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta merupakan lembaga pendidikan yang dipilih oleh Soeharto setelah tamat Sekolah Dasar (SD). Untuk menempuh jarak ke sekolah, ketika berangkat dan pulang sekolah Soeharto menggunakan sepeda yang hampir rusak.
Setelah tamat dari SMP, Soeharto ingin sekali melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, karena keadaan ekonomi keluarga dan keterbatasan biaya yang dimiliki oleh orang tuanya membuat Soeharto harus mengurungkan niatnya itu.
Soeharto sempat mendapatkan dua surat panggilan kerja yang terjadi pada sekitar tahun 1939, surat pertama merupakan surat panggilan dari bank dan surat kedua merupakan surat panggilan dari lembaga ketentaraan. Dan akhirnya yang dipilih oleh Soeharto adalah berkarir di dunia militer.
Pernikahan Soeharto
Saat berusia 26 tahun, Soeharto menikahi Siti Hartinah yang berusia 24 tahun. Istri Soeharto merupakan putri dari Soemoharjomo, wedana di Wuryantoro.
Soemoharjomo juga merupakan seorang pegawai Keraton Mangkunegaran, Surakarta. Pernikahan Soeharto dan Siti Hartinah terlaksana pada tanggal 26 Desember tahun 1947 dan dilaksanakan di Solo.
Sebenarnya, Soeharto dan Siti Hartinah saat di Wuryantoro sudah saling mengenal satu sama lain sejak masih anak-anak. Soeharto termasuk orang yang pemberani bahkan ia pernah dipuji oleh Siti Hartinah karena keberaniannya itu.
Keberanian yang dilakukan oleh Soeharto berupa ia berani masuk ke dalam pekarangan rumah kewedanan hanya untuk menggoda Siti Hartinah. Ketika masuk ke pekarangan, Soeharto selalu memetik bunga sehingga ketika ada bunga yang rusak maka Siti Hartinah akan bilang kalau pelaku yang merusak bunga adalah Soeharto.
Pernikahan yang terjadi antara Soeharto dan Siti Hartinah memberikan enam orang anak yang terdiri dari tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Berikut nama anak-anak Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Istri Soeharto mempunyai hubungan yang sangat baik dengan wartawan sehingga bisa dikatakan Siti Hartinah (Ibu Tien) sangat akrab dengan wartawan.
Para wartawan akan segera hadir jika diminta oleh Ibu Tien di Jalan Cendana, Jakarta. Sebelum menulis berita setiap wartawan akan diberikan pesan oleh Ibu Tien “Jangan sampai salah ya… dalam meliput acara Pak Harto”. Hal itu dikarenakan pada saat itu, semua liputan dan hasil wawancara lebih banyak dengan tulis tangan atau mencatat langsung.
Istri sekaligus Ibu dari enam anak Soeharto meninggal pada tanggal 28 April 1996. Berdasarkan keterangan keluarga, bahwa Ibu Tien meninggal karena menderita penyakit jantung. Ibu Tien disemayamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Karir Militer Soeharto
Sebelum memulai karir politiknya, Soeharto menjadi anggota dari lembaga ketentaraan yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia). Soeharto diangkat menjadi anggota TNI pada tanggal 5 Oktober 1945.
Saat menjadi anggota TNI, Soeharto diberikan tugas memimpin pasukan untuk melawan aksi-aksi militer Belanda yang berusaha untuk kembali menjajah Indonesia.
Pada tanggal 1 Maret 1949, nama Soeharto semakin dikenal oleh banyak orang karena ia berperan penting dalam serangan untuk menguasai kota Yogyakarta.
Kesuksesannya dalam menguasai Yogyakarta tidak bisa lepas dari peran dan perjuangan masyarakat Indonesia dalam melawan pihak Belanda. Meskipun yang memimpin serangan ini Soeharto, tetapi penggagas dari serangan ini sebenarnya adalah Raja Yogyakarta, Gubernur, Militer, dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Soeharto berhasil menjadi seorang tentara dengan pangkat Brigadir Jenderal dan memimpin Komando Mandala yang bertugas untuk merebut kembali Irian Barat. Komando Mandala dilaksanakan pada tahun 1961, dan dari Komando Mandala ini Soeharto mendapatkan pengalaman yang sangat berharga yaitu ia bisa berkenalan dengan Mayor Ali Moertopo, Kapten L.B Moerdani, dan Kolonel Laut Sudomo. Ketiga orang itu merupakan orang-orang yang memiliki peran penting dan strategis.
Soeharto mendapatkan kenaikan pangkat setelah selesai menjalankan tugas di Irian Barat dan kembali dari Indonesia Timur. Pangkat yang diperoleh Soeharto adalah Mayor Jenderal dan oleh Jenderal A.H. Nasution, ia ditarik ke markas besar ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Bukan hanya itu, pada tahun 1962, Soeharto mendapatkan kenaikan menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
ABRI khususnya Angkatan Darat di tahun 1965 mengalami perpecahan atau konflik internal. Konflik internal ini disebabkan adanya paham Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagas oleh Soekarno sehingga membuat TNI AD terpecah menjadi dua kubu, pertama, kubu sayap kiri, dan kedua, kubu sayap kanan.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam orang Jenderal. Kelompok yang menculik dan membunuh enam Jenderal itu mengaku sebagai kelompok Gerakan 30 September (G30S).
Semua kejadian itu terjadi begitu cepat hingga muncul Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang berisi tentang pemberian kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil dan menentukan segala tindakan supaya permasalahan ini terselesaikan dan dapat memulihkan keamanan dan ketertiban.
Sejak dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) oleh Soekarno, jabatan Panglima Komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dipegang oleh Soeharto.
Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto dilantik oleh MPRS untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Dengan pelantikan ini maka menjadi tanda lahirnya masa pemerintahan Orde Baru.
Karir Politik Soeharto Sebagai Presiden Orde Baru
Sebenarnya Soeharto mulai menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia sejak tahun 1966, tetapi baru dilantik oleh MPRS pada tahun 1968. Dengan kata lain, Soeharto baru sah menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua di tahun 1968. Pada awal menjadi Presiden Republik Indonesia, Soeharto belum mempunyai wakil Presiden Republik Indonesia.
Sejak tahun 1973 hingga 1998, barulah Soeharto mempunyai Wakilnya. Simak ulasan berikut tentang Wakil Presiden di masa pemerintahan Orde Baru atau masa di mana pemerintahan dipimpin oleh Soeharto.
Wakil Presiden pertama pada kepemimpinan Soeharto ialah Sultan Hamengkubuwono IX. Pada masa pemerintahan ini, Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan I. Masa kerja pada Kabinet Pembangunan I adalah tanggal 6 Juni 1968 sampai 28 Maret 1973.
Pada masa pemerintahan ini, Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban dijabat oleh Jenderal Maraden Panggabean. Jenderal Maraden Panggabean, pada saat itu juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Penerapan sistem Orde Baru diantaranya:
- Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
- Sukses transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Tersosialisasikan Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing dipercaya untuk menanamkan investasinya.
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Akhir kekuasaan Soeharto
Kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade menemui titik akhir saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998. Gelombang aksi protes dan kerusuhan pun terjadi di mana-mana untuk menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Hingga akhirnya, Soeharto memutuskan mengundurkan diri pada 1998. Dengan mundurnya Soeharto, berakhirlah pemerintahan Orde Baru dan dimulailah era Reformasi yang masih berjalan hingga kini. Setelah menjalani masa-masa pensiun dengan tenang, Soeharto meninggal dunia pada usia 87 tahun di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, pada 27 Januari 2006.












