PERISAI MUKMIN CHANNEL YOUTUBE

Berbagi kumpulan shalawat Nabi dan dzikir yang sangat baik di amalkan dalam kehidupan sehari hari

MP3 LAGU-LAGU PRAMUKA

Lagu-lagu pramuka yang ber-irama cerdas dan riang selalu setia menemani anggota pramuka, baik pada saat latihan rutin maupun berkemah, mengajak generasi bangsa untuk selalu memiliki jiwa dan keyakinan yang mantap dalam mengisi pembangunan nasional.

MP3 LAGU ANAK INDONESIA

Lagu anak Indonesia walaupun lirik lagunya singkat tapi isinya syarat dengan pesan orang tua terhadap anaknya. Bagi ada yang mempunyai anak kecil, sangat baik jika menguasai lagu-lagu khusus untuk anak-anak karena disamping liriknya mudah diingat juga lagu lagu tersebut mengandung pesan moral yang baik bagi anak kita tercinta.

MP3 LAGU DAERAH NUSANTARA INDONESIA

Nusantara Indonesia yang bergitu luas terdiri dari beragam macam etnis dan suku budaya yang masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya. Salah satu budaya daerah yang selalu menjadi kebanggaan daerah masing-masing bahkan menjadi kebanggaan nasional adalah berupa Lagu Daerah.

MP3 LAGU PERJUANGAN DAN WAJIB NASIONAL

Lagu atau musik perjuangan ialah lagu yang membangkitkan semangat persatuan untuk melawan penjajah. Mengingat, mengenang, memperkenalkan kepada generasi muda bangsa indonesia bagaimana semangat dan perjuangan pahlawan-pahlawan yang telah berjasa membela negara di masa lampau.

JELAJAH WISATA DI INDONESIA

Indonesia kaya akan Keindahan alamnya, masing-masing punya pesona dan keistimewaan khas tersendiri yang tak akan dapat ditemukan di belahan bumi manapun. Tidak hanya itu, tempat wisata buatan pun juga ikut meramaikan bursa tempat wisata pilihan di indonesia. Dengan mengetahuinya kita akan tertarik, namun dengan menyaksikannya langsung akan membuat decak kagum terpesona.

77 WARISAN BUDAYA INDONESIA

Indonesia sebagai bangsa yang besar dan memiliki keanekaragaman suku dan budaya memiliki jutaan warisan karya kebudayaan yang perlu dijaga dan dilestarikan oleh seluruh anak bangsa, seringnya budaya milik indonesia yang diklaim sebagai budaya asli negara lain.

Sabtu, 22 Februari 2025

Candi Tertua Se-Pulau Jawa Dan Se-Indonesia

Candi Tertua Se-Pulau Jawa Dan Se-Indonesia
CANDI TERTUA SE-PULAU JAWA DAN SE-INDONESIA ADA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT BETAWI

Para ahli sejarah di Indonesia telah sekian lama meneliti candi ini. Meskipun ukuran candinya tidak besar, tapi ternyata usianya beberapa abad lebih tua jika dibandingkan dengan Candi Borobudur. 

Para ahli juga sangat meyakini jika di area ini masih sangat banyak candi yang terkubur. Belum terungkap. Masih misteri. Candi Borobudur yang berasal dari abad ke -8 saja, terkubur tanah saat pertama kali ditemukan oleh peneliti Belanda. Apalagi candi di wilayah ini yang usianya beberapa abad lebih tua dari Borobudur.  

Bahkan ada sumber berita yang mengatakan jika semua candi itu berhasil tergali, maka Indonesia akan punya komplek percandian yang sangat luas seperti yang ada di Bagan Myanmar. 

Ini adalah komplek percandian Batujaya yang terletak di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Tidak jauh juga dari perbatasan Kabupaten Bekasi. 

Candi ini adalah peninggalan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Hindu pertama dan tertua di Pulau Jawa. Kemunculanya hampir 1000 tahun lebih dulu dari Kerajaan Majapahit yang ada di Jawa Bagian Timur. 

Tarumanagara dianggap sebagai kerajaan tertua di Jawa, karena merujuk pada prasasti kerajaan yang ditemukan memiliki angka lebih tua daripada prasasti-prasasti kerajaan lainya di Pulau Jawa. 

Memang kerajaan ini bercorak India. Akan tetapi bukan berarti penghuni mula-mula pulau Jawa (Yavadvipa), khususnya Jawa Bagian Barat yang kini dihuni salah satunya oleh Orang Betawi adalah Orang India. 

Di bagian Barat Pulau Jawa terdapat Piramida Gunung Padang yang disinyalir usianya lebih tua dari Piramida Mesir Kuno. Ini merupakan salah satu bukti yang menunjukan sudah adanya kehidupan manusia sebelum Tarumanagara. Bukti lainya adalah masyarakat lokal di wilayah Pulau Jawa, khususnya Jawa Bagian Barat sudah memiliki keyakinan agama sendiri sebelum adanya agama Hindu dan Budha yang dibawa oleh Orang India. Ini terlihat dari ditemukanya banyak tempat-tempat pemujaan. Sampai sekarang pun agama-agama tua itu masih bisa kita lihat seperti agama Sunda Wiwitan, dan beragam agama kebatinan lainya. 

Tapi, karena kesepakatan para ahli sejarah yang menentukan awal mula dimulainya era sejarah itu setelah adanya peninggalan tulisan, dan karena prasasti adalah salah satu bentuk tulisan, maka Tarumanagara lah yang diakui sebagai awal permulaan era sejarah di pulau Jawa (Yavadvipa / Pulau kaya beras). 

Bangsa India membawa agama Hindu dan Budha. Selain itu juga membawa sistem kerajaan, budaya menulis prasasti, dan kebiasaan membangun Candi di Yavadvipa. Mereka berinteraksi dengan masyarakat lokal yang sudah ada di Nusantara. Memberi warna dalam perjalanan sejarah bagi Bangsa Indonesia. 

Masyarakat Betawi patut berbangga. Karena, meskipun candi-candi yang ada di area ini bukanlah peninggalan orang-orang Betawi, tapi orang Betawi punya andil dalam menjaga situs kekayaan sejarah bangsa Indonesia yang ada di sini. Situs percandian ini berada di tengah area masyarakat Betawi (dan juga masyarakat Sunda) di Karawang yang telah saling berbaur. Corak budaya kehidupan masyarakat di sekitar candi yang menjadi aura daya tarik tersendiri dari tempat ini. 

Tidak ada salahnya kita mempromosikan wisata sejarah candi ini. Agar semakin banyak orang yang tahu dan mendapat banyak sudut pandang soal perjalanan sejarah kehidupan bangsa. Selain itu agar semakin banyak orang datang mengenal ke lingkungan masyarakat Betawi Karawang yang ada di sekitar Candi.

Menara Miring Pisa

Menara Miring Pisa adalah menara lonceng Katedral Pisa, yang dibangun di Field of Miracles
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa Menara Miring Pisa miring..? Hari ini, Anda akan mengetahui alasannya. Menara Miring Pisa adalah menara lonceng Katedral Pisa, yang dibangun di Field of Miracles. Sedikit sejarah:

Pembangunannya dimulai pada tahun 1173 M dengan lempengan sedalam 3 meter, dan di atasnya mulai dibangun tembok. Saat bangunan mencapai lantai tiga, terlihat bangunan mulai miring.

Kita berbicara tentang menara seberat 14.500 ton yang dibangun di atas fondasi sedalam 3 meter yang bertumpu pada tanah pasir dan lumpur. Bayangkan studi geoteknik sebelum konstruksi pada saat itu—secukupnya. Setelah mendeteksi kemiringan, para insinyur pada waktu itu membangun dinding dari lantai yang tersisa sehingga ketinggian lantai di sisi yang tenggelam lebih besar daripada tinggi di sisi yang lain, sehingga mengimbangi sudut kemiringan.

Langkah cerdas! Namun hal ini justru menyebabkan menara semakin miring karena penurunan pondasi yang lebih besar pada sisi yang sudah tenggelam dibandingkan sisi lainnya akibat penambahan beban.

Konstruksi berlangsung selama 199 tahun, dan berbagai jeda selama waktu tersebut menjadi salah satu alasan yang memungkinkan tanah menjadi padat. Tanah liat yang padat menjadi alasan menara ini tidak runtuh dan tahan empat kali gempa tanpa terjatuh. Namun, jika tetap seperti itu di tanah seperti ini, permata ini pada akhirnya akan runtuh. Jadi sudah waktunya untuk “bermain” dengan teknik modern.

Insinyur modern menghitung pusat gravitasi menara, dan perhitungan tersebut menyimpulkan bahwa menara akan runtuh jika mencapai kemiringan lebih dari 5,44 derajat.

Menara ini ditutup pada tahun 1990 untuk perbaikan. Mereka menggali 361 lubang sedalam 40 meter dan menyuntikkan 90 ton beton ke dalam tanah melalui lubang tersebut. (Ini setara dengan 361 kolom, setinggi 13 lantai, “ditancapkan” ke dalam tanah.) Pada pondasi, tiang pancang dibuat di bawah pelat. Ini seperti menempatkan kolom yang menembus lapisan tanah yang tidak stabil dan “berlabuh” ke lapisan tanah yang lebih dalam untuk menjaga agar pelat tetap stabil.

Selanjutnya, tanah dipindahkan dari sisi menara yang tidak terlalu cekung sehingga akan tenggelam pada sisi tersebut dan mengurangi kemiringannya ke empat derajat semula. Terakhir, bahan baja digunakan untuk mengamankan dasar menara ke tanah yang stabil.

Candi Sumur, Situs Bersejarah di Jawa Timur

Candi Sumur, Situs Bersejarah di Jawa Timur
Candi Sumur, Situs Bersejarah di Jawa Timur

Candi Sumur, juga dikenal sebagai Candi Pari, adalah sebuah situs bersejarah yang terletak di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut laporan J. Knebel, candi ini dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat/adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit.

Candi Sumur diperkirakan didirikan pada abad ke-14 Masehi, sezaman dengan Candi Pari. Keduanya termasuk dalam cagar budaya di Kabupaten Sidoarjo. Berbeda dengan Candi Pari yang memiliki ukuran jauh lebih besar, ukuran Candi Sumur lebih kecil, kira-kira hanya setengah dari Candi Pari.

Keadaan saat ditemukan dari Candi Sumur tidak bisa dikatakan utuh, karena hanya tersisa dinding sisi timur dan selatan badannya, lantai, dan fondasi bangunan. Banyak bata penyusun yang hilang tidak diganti. Kemungkinan besar tidak diketemukannya sisa-sisa batu pembentuk dinding candi, dan tidak adanya informasi yang bisa dijadikan sebagai referensi bentuk asal dari candi tersebut menyebabkan Candi Sumur ini direstorasi seperti apa yang bisa kita lihat sekarang.

Untuk menghindari dari runtuhnya sisa dinding candi, pada bagian dalam dibangun kerangka dari semen yang berfungsi sebagai penopang dan pengikat susunan badan candi yang masih ada. Candi Sumur ini merupakan salah satu contoh situs bersejarah yang masih tersisa di Jawa Timur, dan perlu dilindungi dan dilestarikan untuk generasi mendatang.

Aksara Kawi Tulisan Kuno yang Masih Dipakai di Zaman Modern

Aksara Kawi Tulisan Kuno yang Masih Dipakai di Zaman Modern
Aksara Kawi: Tulisan Kuno yang Masih Dipakai di Zaman Modern?

Tidak banyak yang tahu ada Hari Aksara Internasional. Selalu diperingati setiap tanggal 8 September. Di Jember, peringatan Hari Aksara itu dikemas dalam Pekan Aksara di Museum Huruf. Salah satu kegiatannya adalah uri-uri aksara kawi.

BAGI generasi saat ini, istilah aksara kawi sangat asing terdengar. Sebab, dalam kesehariannya, aksara yang lebih banyak digunakan adalah aksara Indonesia atau latin. Selain itu, juga mengenal aksara Jawa yang dipelajari di sekolah lewat pendidikan muatan lokal. Praktis, mendengar aksara kawi pun seperti mendengar istilah baru di dunia aksara. Padahal, aksara kawi ini sudah ada sejak abad ke-8 silam.

Memang saat ini aksara kawi tak lagi digunakan. Tetapi, sebenarnya aksara kawi atau aksara Jawa kuno ini dahulunya merupakan bahasa komunikasi yang sering digunakan di Nusantara. Hal ini diketahui dari banyaknya prasasti yang ditemukan dengan pahatan atau tulisan bermodel aksara kawi.

Keberadaannya memang semakin langka. Itulah yang mendorong Museum Huruf Jember, sebuah museum khusus yang memberikan informasi tentang aksara dan bahasa dari beragam masyarakat untuk melestarikannya. Upaya uri-uri aksara kawi dilakukan dengan menggelar pelatihan penulisan aksara kawi, Sabtu lalu (9/9).

Teguh Fatchur Rozi, seorang perwakilan Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Jawa Timur, diundang. Ahli epigraf asal Tuban itu memberikan pelatihan bagi puluhan pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat umum di Museum Huruf Jember. “Saat ini sebenarnya peninggalan prasasti kawi atau Jawa kuno cukup banyak di Nusantara. Seperti halnya di Pulau Jawa dan khususnya Jawa Timur. Ada ratusan prasasti yang ditemukan itu beraksara kawi,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Jember seusai memberikan pelatihan.

Alumnus Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung itu menceritakan, pengenalan aksara kawi sangat penting dilakukan. Menurutnya, itu salah satu upaya melestarikan warisan. Sehingga sikap memiliki dan mengetahui jati diri bangsa bisa terbentuk. “Mempelajari dan menelusuri. Dari dasarnya dulu dengan praktik menulis dan membaca. Tidak perlu muluk-muluk. Yang penting melestarikan dulu. Syukur-syukur bisa membaca aksara kawi di prasasti,” katanya.

Teguh menjelaskan, aksara kawi merupakan aksara historis yang digunakan di wilayah Asia Tenggara maritim. Terutama di Pulau Jawa sekitar abad ke-8 hingga 16. Jika ditarik nasab atau silsilahnya, aksara ini merupakan pengembangan aksara tertua di Nusantara, yakni aksara Pallawa. Selanjutnya, aksara ini berkembang dengan melokalkan diri di wilayah menjadi aksara kawi yang menyediakan aksara dengan beragam pelafalan lokal. Sementara, aksara Pallawa murni menyediakan pelafalan India atau Sansekerta.

Aksara kawi merupakan pendahulu bagi aksara-aksara Nusantara yang lebih modern, seperti aksara Jawa, aksara Bali, aksara Sunda, dan lainnya. Namun, aksara ini mulai hilang sekitar abad ke-16 dan berganti aksara Jawa yang lebih dikenal dengan hanacaraka. “Hanacaraka itu hasil perkembangan aksara kawi,” lanjutnya.

Teguh kurang sependapat bila aksara kawi dinilai sulit dipelajari karena dianggap hal yang langka. Menurutnya, apa pun yang dimulai dari nol atau awal itu memang cukup sulit. Tetapi, itu tidak menutup ruang untuk belajar dan memahami tentang aksara kawi. “Aksara Jawa saja (hanacaraka, Red) dipelajari dan dilestarikan itu sudah cukup baik. Apalagi kalau kita mau mempelajari aksara kawi yang merupakan cikal bakalnya. Memang belajar apa pun dari nol itu sulit. Sama seperti saat masih kecil, kita dikenalkan tulisan. Proses belajarnya juga sama-sama sulit. Yang penting mau banyak praktik. Menulisnya dan membacanya,” terangnya.

Sementara itu, Pendiri Museum Huruf Jember, Ade Sidiq Permana, berharap, selain mengenalkan aksara kawi, pihaknya ingin memberikan tongkat estafet tersebut ke generasi muda. Dirinya percaya, pelatihan ini memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk meneruskannya di masa yang akan datang. 

Sumber: radarjember.jawapos.com

Lagu Jawa Gundul Gundul Pacul

Sejak Kapan Kamu Tau Bahwa Pencipta Lagu Jawa Gundul Gundul Pacul Adalah Sunan Kalijaga..?

GUNDUL-GUNDUL PACUL

Gundul gundul pacul-cul, gembelengan. Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan.
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar.

Tembang Jawa ini di ciptakan tahun 1400an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yangg dalam dan sangat mulia.

Gundul
Adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota.  Pacul (cangkul) Adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani.

Gundul pacul
Artinya bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang di beri mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas), artinya adalah Kemuliaan seseorang akan sangat tergantung empat hal, yaitu : Bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.

1. Mata di gunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
2. Telinga di gunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung di gunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut di gunakan untuk berkata-kata yang baik dan adil.
Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.

Gembelengan
Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
Banyak pemimpin yang lupa bahwa, dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat. Tetapi dia malah.
1. Menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya sendiri.
2. Menggunakan kedudukannya untuk berbangga-bangga di antara manusia.
3. Dia menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.

Nyunggi wakul, Gembelengan  Nyunggi  Wakul
Artinya membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul di kepalanya.

WAKUL
Adalah simbol kesejahteraan rakyat.
Kekayaan negara, sumberdaya, Pajak adalah isinya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat.

Kedudukannya di bawah bakul rakyat.
Siapa yang lebih tinggi kedudukannya, pembawa bakul atau pemilik bakul?
Tentu saja pemilik bakul.
Pembawa bakul hanyalah pembantu si pemiliknya.
Dan banyak pemimpin yang masih gembelengan (melenggak lenggokkan kepala dengan sombong dan bermain-main).

Akibatnya
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar. ( Bakul terguling dan nasinya tumpah ke mana-mana ). Jika pemimpin gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Dia tak terdistribusi dengan baik. Kesenjangan ada di mana-mana. Nasi yang tumpah di tanah tak akan bisa di makan lagi karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban amanah rakyat!

Wallahu a'lam.
Semoga kita jadi pribadi yang memiliki integritas sehingga siap menjadi suri tauladan di manapun kita berada.

Pangeran Tubagus Angke

PANGERAN TUBAGUS ANGKE: PEWARIS KEJAYAAN JAYAKARTA DAN PEJUANG MELAWAN PORTUGIS

Pangeran Tubagus Angke Pewaris Kejayaan Jayakarta dan Pejuang Melawan Portugis
Pangeran Tubagus Angke, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Jayakarta II, adalah tokoh bersejarah yang memainkan peran penting dalam perkembangan Jayakarta (Jakarta) pada abad ke-16. Lahir sebagai cucu Syekh Datuk Kahfi dan keturunan dari Pangeran Panjunan, Tubagus Angke menikahi Ratu Ayu Pembayun Fatimah, putri Fatahillah dan Ratu Winahon, putri Sunan Gunung Jati. Keberanian dan keadilannya membuat Fatahillah menunjuknya sebagai penerus Adipati Jayakarta, menggantikan dirinya yang telah lanjut usia.

Pejuang Melawan Portugis.
Sebagai panglima perang Kerajaan Banten, Tubagus Angke memimpin pasukan untuk membantu Kerajaan Demak dalam menghadapi benteng Portugis di Sunda Kelapa. Markas pasukannya terletak di sekitar sungai yang kini dikenal sebagai Kali Angke, tempat yang penuh kisah perjuangan dan kemudian menjadi simbol sejarah perlawanan melawan penjajahan.

Pemimpin Jayakarta yang Disegani
Tubagus Angke memerintah sebagai Adipati Jayakarta dari tahun 1550 hingga 1580. Selama masa kepemimpinannya, Jayakarta menjadi pusat perhatian bangsa asing, termasuk Belanda dan Inggris, yang mulai berdatangan ke wilayah tersebut. Ia dikenal di kalangan bangsa Eropa sebagai "Regent of Jakarta" atau "Koning van Jacatra".

Warisan dan Dinasti.
Perkawinan Tubagus Angke dengan Fatimah menghasilkan keturunan yang berperan besar dalam sejarah Banten dan Jayakarta, termasuk Pangeran Sungerasa (Pangeran Jayakarta III) dan Ratu Mertakusuma, yang menikah dengan Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad dari Banten. Keturunan ini melahirkan tokoh besar lainnya, seperti Sultan Ageng Tirtayasa, yang melanjutkan perjuangan melawan dominasi Belanda.

Sumber Nama Kali Angke.
Nama Kali Angke memiliki beberapa versi asal usul. Menurut Alwi Shahab, nama ini berasal dari bahasa Hokkian, di mana "ang" berarti merah dan "ke" berarti sungai, merujuk pada tragedi pembantaian Tionghoa tahun 1740 yang membuat air sungai.

Sabtu, 15 Februari 2025

Sejarah Tenaga Dalam Indonesia

Sejarah Tenaga Dalam Indonesia
SEJARAH TENAGA DALAM INDONESIA
Banyak Perguruan ataupun pribadi yang menawarkan pelatihan-pelatihan tenaga dalam. Namun tak banyak dari mereka yang paham sejarah tenaga dalam itu sendiri. Memang perkembangan tenaga dalam Indonesia tidak diimbangi kepedulian dalam penelusuran asal-usul, siapa tokoh yang menciptakan dan mengembangkannya. 

Bahkan sebagian besar dari perguruan itu berupaya menyembunyikan sejarah dari mana pendiri perguruan itu belajar tenaga dalam. Ada juga Guru yang sengaja mengarang sejarah layaknya cerita yang di-dramatisir untuk mendongkrak nama dan “omset penjualan” perguruannya.

Tenaga dalam (versi Indonesia) identik dengan ilmu yang mampu menghalau lawan dalam keadaan amarah/emosi dari jarak jauh. Lazimnya, bela diri jenis ini digali melalui olah napas, jurus dan pengejangan pada bagian tubuh tertentu (dada/perut). Terkadang pula disertai ajaran spiritual.

Perkembangan sejarah tenaga dalam di Indonesia diwarnai oleh 4 tokoh penting. Yaitu Muhammad Toha pendiri Sin Lam Ba (Jakarta), Anandinata pendiri Margaluyu (Bandung), H Abdul Rasyid pendiri Budi Suci (Bogor) dan Nampon pendiri Tri Rasa (Bandung).

Pada akhir abad 19 tenaga dalam sudah mulai dipelajari secara terbatas tetapi baru keluar dari “sangkar”-nya pada tahun 1932 ketika Nampon melakukan aktivitas nyleneh di depan stasiun Padalarang. Saking girangnya menyambut kelahiran anak pertamanya, Nampon diluar kesadarannya berteriak-teriak seperti orang gila. Karena dianggap gila, Nampon hendak diringkus beramai-ramai. Namun dari sekian orang yang akan menjamah tubuhnya itu jatuh terpelating.

Nampon lahir di Ciamis pada tahun 1888 dan wafat tahun 1962. Semula adalah pegawai di jawatan kereta api di jaman Belanda. Ia dipecat dan berulang kali masuk bui karena sikapnya yang anti penjajah Belanda. Diantara murid Nampon yang berjasa ikut mengembangkan tenaga dalam adalah Setia Muchlis dan KM Tamim yang kemudian mendirikan perguruan TRI RASA yang banyak diikuti kalangan Mahasiswa di Bandung, diantaranya murid itu adalah Bung Karno dan M Natsir.

Menurut kalangan pendekar sepuh di wilayah Jawa Barat, sebelum memperkenalkan “jurus tenaga dalam“ Nampon banyak belajar ilmu dari pendekar yang lebih senior. Ia pernah berguru pada Abah Khoir pencipta silat Cimande, dan pendekar-pendekar asal Batavia diantaranya Bang Madi, Bang Kari, Bang Ma’ruf juga H Qosim pendekar yang diasingkan kerajaan Pagar Ruyung, Padang karena mengajarkan silat di luar kerajaan.

Kini ketika perguruan tenaga dalam menjamur hampir di seluruh kota dengan bendera yang berbeda-beda (walau corak jurus dan oleh napas serupa), kemudian muncul pertanyaan, dari mana asalnya ilmu tenaga dalam dan siapa tokoh yang pertama kali menciptakannya?

Sidik, murid dari H Abdul Rosyid pendiri aliran Budi Suci yang banyak menyebarkan aliran ini di Jawa dan Sumatra, pada tahun 1985 mengatakan bahwa jurus tenaga dalamnya diwarnai keilmuan Abah Khoir dan Nampon. Begitu halnya dengan aliran yang banyak berkembang di Jawa Tengah, seperti Ragajati di Banyumas, JSP (Jurus Seni Penyadar) di Tegal dan beberapa aliran di Semarang.

Yosis Siswoyo Guru Besar aliran Bandar Karima Bandung saat dikonfirmasi, mensinyalir bahwa kemunculan tenaga dalam di wilayah Jawa Barat secara terbuka memang terjadi pada masa Nampon sepulang dari penjara Digul.

Namun demikian Yosis tidak berani memastikan pencipta jurus tenaga dalam itu Nampon seorang, mengingat pada masa yang hampir bersamaan, di Batavia/Jakarta juga muncul aliran Sin Lam Ba dan Al-Hikmah, bahkan pada tahun yang hampir bersamaan, di daerah Ranca Engkek Bandung Andadinata memunculkan ilmu tenaga dalam yang diklaim asli hasil pemikirannya sendiri.

Aliran Andadinata ini kemudian dikenal dengan nama Marga Rahayu namun kemudian dirubah menjadi Margaluyu dan mulai dikenalkan pada pada khalayak pada tahun 1932, tetapi pada tahun 1922 aliran itu sudah diperkenalkan dalam lingkup yang terbatas.

Anandinata konon memiliki beberapa murid, diantaranya Dan Suwaryana, dosen ASRI yang juga wartawan di Yogyakarta. Dari Dan Suwaryana ini kemudian “pecah” (berkembang) lebih dari 17 perguruan tenaga dalam besar yang kini bermarkas di kota gudeg, Yogyakarta, diantaranya Prana Sakti yang dikembangkan Aspanuddin Panjaitan.

Menurut berbagai pihak yang dapat dipercaya, perguruan yang terinspirasi oleh Prana Sakti itu, diantaranya : Prana Sakti Indonesia, Prana Sakti Jayakarta, Satria Nusantara, Perdawa Padma, Radiasi Tenaga Dalam, Kalimasada, Bunga Islam, Al-Barokah, Indonesia Perkasa, Sinar Putih, Al-Barokah, Al-Ikhlas, dll.

Konon, keilmuan yang ada pada Margaluyu itu sendiri memiliki silsilah dari para Wali di tanah Jawa, yang apabila diruntut yaitu dari Syekh Datul Kahfi – Prabu Kian Santang / P.Cakrabuana (Setelah masuk Islam dikenal sebagai Sunan Rahmad Suci Godong Garut) kemudian ke : Sunan Gunung Jati dan dari beliau turun ke Anandinata.

Hingga kini sejarah tenaga dalam masih misteri, siapa tokoh yang pertama kali menciptakannya. Para pinesepuh juga tidak memiliki refrensi yang kuat berkaitan dengan sejarah perguruan dan pencetusnya.
Dari kalangan Budi Suci atau perguruan yang mengambil sumber dari aliran yang didirikan H Abdul Rosyid ini setidaknya ada 3 nama tokoh yang disebut-sebut dalam “ritual” yaitu Madi, Kari dan Syahbandar (atau disebut Subandari, tetapi bernama asli H Qosim).

Tentang nama Madi, Kari dan Syahbandar sebagaimana disebut diatas, memang banyak mewarnai keilmuan Nampon, namun keilmuan itu lebih bersifat fisik, karena dalam catatan “tempo doeloe” Madi dan Kari belum memperkenalkan teknik bela diri tenaga dalam (pukulan jarak jauh).

Baik Madi, Kari dan Syahbandar dikenal sebagai pendekar silat (fisik) pada masanya. H. Qosim yang kemudian dikenal sebagai Syahbandar atau Mama’ Subadar karena tinggal dan disegani masyarakat desa Subadar di wilayah Cianjur. Sedangkan Madi dikenal sebagai penjual dan penjinak kuda binal yang diimpor asal Eropa.

Dalam dunia persilatan Madi dikenal pakar dalam mematah siku lawan dengan jurus gilesnya, sedangkan Kari dikenal sebagai pendekar asli Benteng Tangerang yang juga menguasai jurus-jurus kung fu dan ahli dalam teknik jatuhan.

Pada era Syahbandar, Kari dan Madi banyak pendekar dari berbagai aliran berkumpul. Batavia seakan menjadi pusat barter ilmu bela diri dari berbagai aliran, mulai dari silat Padang, silat Betawi kombinasi kung fu ala Bang Kari, juga aliran Cimande yang dibawa oleh Khoir.

Dari aliran Budi Suci yang keilmuannya konon bersumber dari Khoir dan Nampon, juga tidak berani mengklaim bahwa tenaga dalam itu bersumber (hanya) dari Nampon seorang. Begitu halnya kalangan yang mengambil sumber dari Margaluyu.

Kalangan Budi Suci, menganalisa bahwa Namponlah yang patut dianggap sebagai pencipta, karena dalam ritual (wirid), nama-nama yang disebut adalah Madi, Kari dan Syahbandar (Syeh Subandari), sedangkan nama Nampon tidak disebut-sebut. Ini menunjukkan bahwa inspirasi ilmu berasal dari tokoh sebelum Nampon, walau nampon yang kemudian merangkum dan menyempurnakannya. Namun simpulan itu diragukan mengingat pada masa pendekar Madi, Kari, Sahbandar ini tenaga dalam belum dikenal.

Terbukti, dalam suatu peristiwa saat Madi diserang kuda binal juga mematahkan kaki kuda dengan tangkisan tangannya, dan Khoir guru dari Nampon saat bertarung dengan pendekar Kung Fu, juga menggunakan selendang untuk mengikat lawannya pada pohon pinang. Artinya, jika tenaga dalam itu sudah ada, dan mereka-mereka itu adalah pakarnya, kenapa musti pakai selendang segala? Kenapa tidak pakai “jurus kunci” agar pendekar Kung Fu itu tidak bisa bergerak.

Justru pemanfaatan tenaga dalam itu baru tercatat pada era Nampon tahun 1930-an. Kasus “histeris” saat menyambut kelahiran anaknya di depan stasiun Padalarang, dan pertarungan Nampon dengan Jawara Banten juga saat melayani tantangan KM Thamim yang (setelah kalah) lalu berguru kepadanya.
Yosis Siswoyo (63) dari Silat Bandar Karima (kepanjangan dari Syahbandar, Kari dan Madi) termasuk kalangan pendekar generasi tua di Bandung juga mengakui dari kalangan perguruan pencak silat dan tenaga dalam memang kurang mentradisikan dalam pelestarian sejarah perguruannya.

Walau Yosis menyebut Nampon dan Andadinata sebagai tokoh yang banyak berjasa mengenalkan tenaga dalam di wilayah Jawa Barat, namun kemunculan Sin Lam Ba dan Al-Hikmah di Batavia pada kurun waktu yang hampir bersamaan, (bahkan disinyalir lebih dulu) juga perlu dipertimbangkan bagi yang ingin melacak sejarah.

Tentang Sin Lam Ba, H Harun Ahmad, murid Muhammad Toha guru besar Sin Lam Ba - Jakarta, kepada penulis menjelaskan bahwa pada tahun 1896 Bang Toha yang juga anggota Polisis di zaman Belanda itu menemukan jurus tenaga dalam dari H Odo seorang kiai dari pesantren di Cikampek, Jawa Barat sedangkan Al-Hikmah yang dikembangkan oleh Abah Zaki Abdul Syukur juga bersumber dari Bang Toha bahkan pada awal kali memulai aktivitas perguruannya, sempat bergabung dibawah panji Sin Lam Ba. Namun ketika H Harun Ahmad ditanya tentang dari mana H Odo mendapatkan ilmu itu, ia tak dapat menjelaskannya.

H Harun hanya menjelaskan, aliran tenaga dalam yang kini berubah menjadi nama yang banyak dan berbeda-beda itu, dulunya adalah “Ilmu Tanpa Nama” yang kemudian dikembangkan pencetusnya dengan cara mengadopsi atau menyampur dari berbagai aliran yang pernah dipelajarinya.
Mulai Berubah Fungsi

Melacak sejarah perkembangan tenaga dalam setidaknya dapat ditelusuri dari sejarah berdirinya aliran tenaga dalam “tua” yaitu :
- 1896 pertemuan M. Toha dengan H. Odo di Cikampek lalu berdiri aliran Sin Lam Ba di Jakarta.
- 1922 secara terbatas Andadinata mulai memperkenalkan jurus tenaga dalam di daerah Ranca Engkek, Bandung. Dari Andadinata kemudian muncul aliran Margaluyu.
- 1932 Nampon mendirikan aliran Tri Rasa di Bandung dan H. Abdul Rosyid mendirikan aliran Budi Suci di Bogor.

Penelusuran sementara sejarah perkembangan perguruan tenaga dalam lebih tertuju pada wilayah Jawa Barat dan Batavia sebagai tempat kelahiran aliran tenaga dalam. Aliran bercorak Nampon menyebar ke Jawa Tengah melalui perguruan Ragajati, JSP (jurus seni penyadar) dan beberapa aliran tanpa nama.

Sin Lam Ba lebih banyak berkembang di wilayah Jakarta, sedangkan Al-Hikmah masuk Jawa Tengah melalui jalur pesantren Bambu Runcing di Parakan Temanggung. Budi Suci yang didirikan H. Abdul Rosyid di Bogor memilih wilayah pengembangan di wilayah pantai utara ke arah timur mulai dari Jakarta, Bekasi, Karawang, Cikampek, Kuningan, Indramayu dan Cirebon, Semarang, Rembang dan tahun 1983 di Cluwak, Pati Utara. Sedangkan Margaluyu justru berkembang pesat di wilayah Yogyakarta, walau guru yang belajar dari aliran ini kemudian mengganti perguruan dengan nama baru.
Pada tahun-tahun berikutnya, perkembangan perguruan tenaga dalam layaknya MLM (Multi Level Marketing). Seseorang yang belajar pada suatu perguruan memilih untuk mendirikan perguruan baru sesuai selera pribadinya. Ini adalah gejala alamiah yang tidak perlu dimasalahkan, karena setiap guru atau orang yang merasa mampu mengajarkan ilmu pada orang lain itu belum tentu sepaham dengan tradisi yang ada pada perguruan yang pernah diikutinya.

Pertimbangan merubah nama perguruan itu dilatarbelakangi oleh hal-hal yang amat kompleks, mulai adanya ketidaksepahaman pola pikir antara orang zaman dulu yang mistis dan kalangan modernis yang mempertimbangkan sisi kemurnian aqidah dan ilmiah, disamping pertimbangan dari sisi komersial. Yang pasti, misi orang mempelajari tenaga dalam pada masyarakat sekarang sudah mulai berubah dari yang semula berorientasi pada ilmu kesaktian menuju pada gerak fisik (olah raga) karena orang sekarang menganggap lawan berat yang sesungguhnya adalah penyakit. Karena itu, promosi perguruan lebih mengeksploitasi kemampuan mengobati diri sendiri dan orang lain.

Aliran perguruan tenaga dalam yang mengeksploitasi kesaktian kini lebih diminati masyarakat tradisional. Dan menurut pengamatan penulis, perguruan ini justru sering “bermasalah” disebabkan pola pembinaan yang menggiring penganutnya pada sikap “kejawaraan” melalui doktrin-doktrin yang kurang bersahabat pada aliran lain dari sesama perguruan tenaga dalam maupun bela diri dari luar (asing).

Sikap ini sebenarnya bertentangan dengan sikap para tokoh seperti Bang Kari yang selalu wanti-wanti agar siapapun yang mengamalkan bela diri untuk selalu memperhatikan “sikap 5” yaitu : 1. Jangan cepat puas. 2. Jangan suka pamer. 3. Jangan merasa paling jago. 4. Jangan suka mencari pujian dan 5. Jangan menyakiti orang lain.

Dan perlu diingat, perkembangan pencak silat sebagai dasar dari tenaga dalam itu, baik pelaku maupun keilmuannya dapat berkembang karena silaturahmi antar tokoh, mulai dari silat Pagar Ruyung Padang yang dibawa H Qosim (Syahbandar), Bang Kari dan Bang Madi yang merangkum silat Betawi dengan Kung Fu, juga Abah Khoir dengan Cimandenya, RH. Ibrahim dengan Cikalongnya.

Rangkapan Fisik
Setiap perguruan tenaga dalam memberikan sumbangsih tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Margaluyu menorehkan tinta emas sebagai perguruan tua yang banyak mengilhami hampir sebagian besar perguruan di Indonesia, dan cabang-cabang dari perguruan ini banyak berjasa bagi pengembangan tenaga dalam yang ilmiah dan universal.

Sin Lam Ba, Al-Hikmah, Silat Tauhid Indonesia berjasa dalam memberikan nafas religius bagi pesertanya, dan aliran Nampon berjasa dalam memberikan semangat bagi para pejuang di era kemerdekaan.

Terlepas dari sisi positif dari aliran-aliran besar itu, pengembangan aliran tenaga dalam yang kini masih memilih corak pengembangan bela diri dan kesaktian itu justru mendapat kritik dari para pendahulunya.
Pada tahun 1984 Alm. Sidik murid dari H Abdul Rosyid saat berkunjung ke wilayah Pati utara dan menyaksikan cara betarung (peragaan) suatu perguruan “pecahan” dari Budi Suci, menyayangkan kenapa sebagian besar dari siswa perguruan tenaga dalam itu sudah meninggalkan teknik silat (fisik) sebagai basic tenaga dalam.

Artinya, saat diserang mereka cenderung diam dan hanya mengeraskan bagian dada/perut. Kebiasaan ini menurutnya suatu saat akan menjadi bumerang saat harus menghadapi perkelahian diluar gelanggang latihan. Karena saat latihan hanya dengan “diam” saja sudah mampu mementalkan penyerang hingga memberikan kesan bahwa menggunakan tenaga dalam itu mudah sekali.

Mereka tidak sadar bahwa dalam perkelahian di luar gelanggang latihan itu, suasananya berbeda. Dalam arena latihan yang dihadapi adalah teman sendiri yang sudah terlatih dalam menciptakan emosi (amarah).

Cara bela diri memanfaatkan tenaga dalam yang benar menurut Alm. Sidik sudah dicontohkan oleh Nampon saat ditantang jawara dari Banten dan saat akan dicoba kesaktiannya oleh KM Tamim. Yaitu, awalnya mengalah dan berupaya menghindar namun ketika lawan masih memaksa menyerang, baru dilayani dengan jurus silat secara fisik, menghindar, menangkis dan pada saat yang dianggap tepat memancing amarah dengan tamparan ringan dan setelah penyerang emosi, baru menggunakan tenaga dalam.

Pola pembinaan bela diri yang tidak lengkap yang hanya fokus pada sisi batin saja, sering menjadi bumerang bagi mereka yang sudah merasa memiliki tenaga dalam sehingga terlalu yakin bahwa bagaimanapun bentuk serangannya, cukup dengan diam (saja) penyerang pasti mental. Dan ketika mereka menghadapi bahaya yang sesungguhnya, ternyata menggunakan tenaga dalam tidak semudah saat berlatih dengan teman seperguruannya.

Fenomena pembinaan yang sepotong-potong ini tidak lepas dari keterbatasan sebagian guru yang pada umumnya hanya pernah “mampir” di perguruan tenaga dalam. Sidik mengakui banyak orang yang belajar di Budi Suci hanya bermodal “jurus dasar” saja sudah banyak yang berani membuka perguruan baru. Padahal dalam Budi Suci itu terdapat 3 tahapan jurus. Yaitu, Dasar Jurus – Jodoh Jurus dan Kembang Jurus (ibingan).

Karena tergesa-gesa ingin membuka aliran baru itu menyebabkan siswa sering tidak siap disaat harus menggunakan tenaga dalamnya. Dan Yosis Siswoyo dari Bandar Karima memberikan konsep bahwa keberhasilan memanfaatkan tenaga dalam ditentukan dari prinsip “min-plus” yang dapat diartikan : Biarkan orang berniat jahat (marah), aku memilih untuk tetap bertahan dan sabar.

Karena itu pembinaan fisik, teknik bela diri fisik, teknik, kelenturan, refleks dan mental bertarung perlu ditanamkan terlebih dahulu karena kegagalan memanfaatkan tenaga dalam lebih disebabkan mental yang belum siap sehingga orang ingat punya jurus tenaga dalam setelah perkelahian itu sudah usai.

Berdasarkan pengamatan, tenaga dalam berfungsi baik justru disaat pemiliknya “tidak sengaja” dan terpaksa harus bertahan dari serangan orang yang berniat jahat. Dan tenaga dalam itu sering gagal justru disaat tenaga dalam itu dipersiapkan sebelumnya untuk “berkelahi” dan akan lebih gagal total jika tenaga dalam itu digunakan untuk mencari masalah.

Tenaga dalam harus bersifat defensif atau bertahan. Biarkan orang marah dan tetaplah bertahan dengan sabar dan tak perlu mengimbangi amarah. Sebab jika pemilik tenaga dalam mengimbangi amarah, maka rumusnya menjadi “plus ketemu plus” yang menyebabkan energi itu tidak berfungsi. Dan dalam hal ini Budi Suci menjabarkan konsep “min – plus” itu dengan sikap membiarkan lawan “budi” (bergerak/amarah) dan tetap mempertahankan “suci” (sabar, tenang).

Memposisikan diri tetap bertahan (sabar) sangat ditentukan tingkat kematangan mental. Dan pada masa Nampon dan H Abdul Rosyid, tenaga dalam banyak berhasil karena dipegang oleh pendekar yang sudah terlatih bela diri secara fisik (sabung) sehingga saat menghadapi penyerang mentalnya tetap terjaga.

Sekarang semua sudah berubah. Orang belajar tenaga dalam sudah telanjur yakin bahwa serangan lawan tidak dapat menyentuh sehingga fisik tidak dipersiapkan menghindar atau berbenturan. Dan karena tidak terlatih itu disaat melakukan kontak fisik, yang muncul justru rasa takut atau bahkan mengimbangi amarah hingga keluar dari konsep “min-plus”.

Tenaga Dalam Pantura
Perkembangan tenaga dalam di wilayah eks Karisedenan Pati tak lepas dari peran Perguruan Satya dibawah asuhan alm. Soeharto – Semarang. Satya berkembang di wilayah Pati awalnya dibawa oleh murid Soeharto bernama Subiyanto asal Jepara. Namun Subiyanto kemudian membuat perguruan Mustika. Walau perguruan ini hanya muncul sesaat kemudian tidak terdengar lagi.

Pada akhir tahun 70-an Satya masuk wilayah Pati dengan corak yang saat itu dianggap tabu karena berlatih pada tempat terbuka pada siang hari. Ini berbeda dengan aliran lain yang memilih berlatih secara sembunyi-sembunyi.

Satya lebih mudah diterima masyarakat karena sifatnya yang terbuka, lebih njawani dan tidak bernaung dibawah partai politik tertentu bahkan menerima anggota dari semua agama, walau dalam ritualnya Satya tidak jauh beda dengan aliran Budi Suci yang dikembangkan oleh Bang Ali yang saat itu juga banyak berkembang di Jawa Tengah.

Kesamaan Satya dengan Budi Suci disebabkan alm. Soeharto mengenal jurus tenaga dalam itu berasal dari Yusuf di Tanjung Pinang, dan Yusuf adalah murid dari alm. Sidik, salah satu dari murid H Abdul Rosyid sang pendiri aliran Budi Suci.

Dalam lingkup pergruannya, Soeharto hampir tidak pernah menyebut-nyebut nama Yusuf sebagai sang guru. Ini disebabkan adanya hal yang sangat pribadi berkaitan dengan sang guru yang WNI keturunan itu. Justru Soeharto lebih sering menyebut nama Sidik, walau pertemuan keduanya itu baru berlangsung diawal tahun 80-an.

Ketika beberapa pengurus Satya di Sirahan, Cluwak berhasil menemukan Sidik di Cilincing, Jakarta Utara, lalu diboyong untuk meneruskan pembinaan dari anggota Satya yang saat itu sudah pasif dari berbagai kegiatan perguruan.

Kehadiran Sidik ke Sirahan ibarat meneruskan pelajaran lanjutan yang tidak terdapat pada kurikulum Satya. Selain pembaharuan dalam jurus dasar juga meneruskan pada materi Jodoh Jurus dan Kembang Jurus ciptaan oleh Abah Khoir sang pendiri Cimande dan sebagian sudah digubah oleh H Abdul Rosyid.
Sejarah tentang tenaga dalam perlu diketahui oleh mereka yang mengikuti suatu aliran tenaga dalam. Ketidaktahuan tentang sejarah itu dapat menggiring seseorang bersikap kacang lupa kulit, bahkan memunculkan “anekdot spiritual” sebagaimana dilakukan seorang guru tenaga dalam yang karena ditanya murid-muridnya dan ia tidak memiliki jawaban lalu menjelaskan bahwa orang-orang yang ditokohkan dalam perguruan itu dengan jawaban yang mengada-ada.

Misalnya, Saman adalah seorang Syekh dari Yaman, Madi disebut sebagai Imam Mahdi, Kari adalah Imam Buchori, Subandari adalah Syeh Isbandari. Dan jawaban seperti itu tidak memiliki dasar dan konon hanya berdasarkan pada kata orang tua semata.

Sumber : 
LBD SINAR PUTIH CIPELEM
sendalku pedot
Dusun Puyang (Dupun stories) 

Entong Endut

ENTONG GENDUT Pendekar Sekaligus Pahlawan Betawi dari Condet
ENTONG GENDUT
Pendekar Sekaligus Pahlawan Betawi dari Condet

Bagi masyarakat Jakarta, terutama yang tinggal di Jakarta Timur, nama Condet mungkin sudah tidak asing lagi. Wilayah ini kaya akan budaya Betawi dan memiliki keunikan dalam adat dan tradisinya.

Namun, Condet bukan hanya sekadar tempat dengan raga budaya, tetapi juga merupakan bagian penting dari sejarah yang melahirkan sosok legendaris. Salah satu tokoh yang hingga kini dikenang adalah Entong Gendut, seorang pendekar yang dikenal bukan hanya karena kesaktiannya, tetapi juga karena keberaniannya dalam melawan penindasan kolonial. Dilansir dari berbagai sumber dan versi,dan ini salah satunya

Kisah Hidup dan Kesaktian Entong Gendut
Entong Gendut adalah seorang pendekar Betawi yang lahir di Condet dan diperkirakan hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda. Meskipun rincian kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, ia dikenal sebagai seorang pembela kaum tani yang terhormat, bahkan ada yang menyebutnya sebagai mantan polisi yang tak tega melihat perlakuan kejam tuan tanah terhadap penduduk lokal.

Dengan prinsip yang kuat, Entong Gendut tak pernah mundur dari perlawanan terhadap penindasan. Pada tahun 1916, ia memimpin perjuangan melawan penjajah di Batavia, khususnya untuk membela petani-petani Condet yang tertindas akibat kebijakan yang menindas dari para tuan tanah.

Nama Entong Gendut sangat dihormati lantaran reputasinya sebagai jawara dengan “kesaktian” luar biasa. Melansir beberapa sumber, ia dikatakan menguasai ilmu kebal, yang dikenal sebagai Ilmu Mupus, yang membuatnya tahan terhadap senjata tajam atau benda tumpul, meskipun tidak dapat melawan peluru. Selain itu, ia dipercaya dapat muncul sebagai hantu yang berpindah tempat dalam sekejap.

Konon, ilmu kebalnya hanya berlaku di dalam kawasan Condet; saat ia keluar dari wilayah tersebut, segala kemampuannya yang tidak berhubungan dengan seni bela diri akan sirna. Ia juga memiliki golok sakti sepanjang 50 cm yang kini tersimpan oleh keturunannya, menjadi simbol keberanian dan perjuangannya.

Perlawanan terhadap Penindasan Kolonial
Pada masa kolonial, sebagian besar tanah di Condet dikuasai oleh tuan tanah dan penjajah, membuat petani terpaksa membayar pajak yang memberatkan dan sering kali dipaksa kerja rodi.

Ketegangan ini memuncak pada tahun 1916 ketika seorang petani bernama Taba dari Batu Ampar difonis bersalah di pengadilan yang dipimpin oleh Mr. Cornelis, yang mengguncang masyarakat setempat.

Kondisi ini menimbulkan kesedihan mendalam bagi paguyuban pencak silat yang dipimpin oleh Entong Gendut di Batu Ampar, yang bertekad untuk membela para petani serta melindungi rumah dan tanah mereka dari penyitaan.

Peristiwa tersebut mendorong Entong Gendut dan tokoh masyarakat lainnya, seperti H. Asmat Wahab dan H. Maliki, untuk mengambil tindakan.

Puncaknya terjadi pada tanggal 5 April 1916, ketika Entong Gendut memimpin ratusan penduduk menyerang kediaman seorang tuan tanah bernama Lady Lollinson di Villa Nova, yang saat itu sedang mengadakan pesta tari topeng.

Tindakan ini dianggap sebagai pemberontakan besar oleh pihak kolonial, yang kemudian memerintahkan Meester Cornelis untuk mengepung rumah Entong Gendut di Batu Ampar.

Dalam pengepungan itu, Entong Gendut menunjukkan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi serangan pasukan Belanda. Dengan keris terhunus di tangannya, ia meneriakkan, “Aye gedruk tanah, maka ini tanah bakal jadi laut! ” Bersama para pengikutnya, Entong Gendut melancarkan perlawanan gigih dan berhasil menangkap Meester Cornelis.

Di hadapan Meester Cornelis, Entong Gendut menobatkan dirinya sebagai raja. Para pengikut setianya, yang terdiri dari Ja, Tipis, Raidi, Sibi bin Jimin, Logod, Tipe, Gutar, dan Usup, diangkat sebagai patih. Selain itu, Talun sebagai mantri, Gani sebagai sekretaris, dan dua orang perekrut massa, Majar serta Djaimin, juga mendapat pangkat.

Mendengar kegagalan operasi penangkapan Entong Gendut dan kelompoknya, Asisten Residen Meester Cornelis segera mengirimkan pasukan bantuan militer. Pengepungan ini dipimpin langsung oleh asisten residen pada tanggal 10 April 1916.

Tragisnya, dalam peristiwa tersebut, Entong Gendut tertembak saat mencoba menyeberangi kali di Condet Batuampar. Bersama dua pengikutnya yang terluka, ia segera dilarikan ke Stovia.

Namun, dokter merujuk mereka ke rumah sakit Stadsverband di Glodok. Malangnya, dalam perjalanan, Entong Gendut meninggal dunia akibat dua luka tembakan di dadanya pada 11 April 1916.

Bagi pemerintah kolonial Belanda, Entong Gendut mungkin hanya dianggap sebagai pengacau. Namun, bagi masyarakat Betawi, ia merupakan pahlawan yang berani melawan ketidakadilan. Hingga hari ini, namanya dikenang sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penindasan.

Kisah Entong Gendut mengingatkan kita akan keberanian dan semangat perjuangan masyarakat Condet, serta bagaimana lokalitas dapat menjadi basis perlawanan terhadap kolonialisme. Warisannya terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Betawi, menginspirasi untuk terus berjuang melawan ketidakadilan di mana pun.

Minggu, 09 Februari 2025

Eyang Syahbandar

Pendekar Asal Pagaruyung yang Disegani di Tatar Pasundan
EYANG SYAHBANDAR
Pendekar Asal Pagaruyung yang Disegani di Tatar Pasundan

Kecamatan Wanayasa merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Purwakarta yang menyimpan segudang cerita masa lalu. Di kecamatan yang berada di lereng Gunung Burangrang ini pernah hidup seorang pendekar yang memiliki ilmu pencak silat tingkat tinggi dan cukup disegani di Tatar Pasundan. Namanya Eyang Syahbandar. 

Eyang Syahbandar atau Ama Syahbandar sejatinya seorang pengembara dari Minangkabau. Nama aslinya adalah Mohammad Kosim, dilahirkan di Pagaruyung, Sumatera Barat pada tahun 1766 . Pada masanya, pasangan Ama Syahbandar dan istrinya yakni Nyi Raden Kendan atau Eyang Bubu, adalah pasangan pendekar silat yang sangat disegani. 

Sayang, pasangan pendekar ini tidak dikaruniai putra. Budayawan Purwakarta Budi Rahayu Tamsah mengatakan, berdasarkan beberapa sumber sejarah persilatan yang didapatnya, Ama Syahbandar datang ke Tanah Jawa karena terusir dari kampung halamannya di Pagaruyung. Penyebabnya adalah, karena dia telah mengajarkan silat kepada masyarakat awam atau pemuda dari golongan rakyat biasa. Konon, dalam tradisi Minangkabau saat itu, silat merupakan seni kemampuan bela diri yang hanya boleh dipelajari (dikuasai) oleh kaum bangsawan kerajaan dan kalangan masyarakat tertentu.

Padahal, hasil penelusuran di Pagaruyung tidaklah demikian. Versi lainnya menyebutkan, Ama Syahbandar pergi ke Tanah Jawa lebih didasari karena persoalan politik. Dia mengasingkan diri dari Pagaruyung, karena diduga terlibat konflik dengan penguasa VOC di daerahnya, yang memerintah dengan cara sewenang-wenang. Untuk mendukung upaya-upaya dalam melakukan perlawanan tersebut, Ama Syahbandar memberikan pembekalan berupa kemampuan beladiri (silat) kepada para pemuda Pagaruyung, untuk mengimbangi kekuatan kaum penjajah yang memiliki persenjataan yang lengkap.

Selanjutnya, dengan menumpang kapal dagang milik VOC, Ama Syahbandar memulai petualangannya ke Tanah Jawa. Kemudian dia singgah dan menetap untuk sementara waktu di sebuah pelabuhan di Batavia. Kemungkinan pelabuhan tersebut, yang kini dikenal dengan nama Pelabuhan Tanjung Priok. Di tempat ini, kembali Ama Syahbandar terlibat pertikaian dengan seorang pejabat VOC yang bertugas mengawasi daerah pelabuhan dan sekitarnya.

Berkat ilmu silat yang dikuasainya, Ama Syahbandar dapat menghabisi si pejabat VOC hanya dalam satu kali gerakan. Hal ini tentu saja mengundang kemarahan Belanda. Dan, Ama Syahbandar pun akhirnya menjadi sasaran penangkapan Belanda. "Akibat peristiwa itu, Ama Syahbandar menjadi tokoh yang ditakuti dan disegani oleh penduduk sekitar. Karena pengaruhnya yang besar, Ama Syahbandar akhirnya berhasil menguasai kawasan pelabuhan, dan berhak menyandang gelar Syahbandar," ungkap Budi. Dari Batavia, Ama Syahbandar melanjutkan perjalanannya ke daerah Cianjur. Di tempat ini kemudian mengajarkan ilmu bela diri kepada masyarakat setempat. Banyak di antara penduduk Cianjur, terutama kaum muda, yang menjadi pengikut setia ajaran Syahbandar.

Maka tak heran, setelah wafatnya Ama Syahbandar, di daerah Cianjur terdapat beberapa petilasan sebagai bentuk penghormatan dari para pengikut setia ajarannya. Dari Cianjur, Ama Syahbandar sempat bermukim di Sindangkasih. Kemudian pindah ke Wanayasa. Menurut sumber-sumber di Wanayasa, hal ini karena mengikuti ajakan sahabatnya yang juga dikenal sebagai ahli silat, yakni Raden Jibja. Bahkan akhirnya Ama Syahbandar menikah dengan adik Raden Jibja, yakni Nyi Raden Kendan (Eyang Bubu). Tidak diketahui, kapan persisnya tokoh Syahbandar ini mulai menjejakkan kakinya di Wanayasa. Namun yang pasti, di daerah ini pun banyak penduduk yang berguru kepada Ama Syahbandar.

Ajaran silat Syahbandar tidak hanya terdapat di Wanayasa atau daerah Cianjur, melainkan menyebar dan berkembang ke daerah lain di Jawa Barat. Beberapa hal yang menjadi ciri khas ajaran Syahbandar ini di antaranya adalah adanya Persilatan Jurus Lima alias gaya Syahbandar. Jurus ini dikenal dengan beberapa nama, antara lain: Lengkah Opat (Langkah Empat), Leumpang Lima (Jalan Lima), Gerak Opat Kalima Pancer, Gerak Asror, Gerak Panca Tunggal, dan lain-lain. Meski terkesan sederhana, gaya silat Syahbandar ini terbilang cukup unik. Dikatakan unik karena selain relatif mudah untuk dipelajari, jurus Syahbandar ini ternyata mampu menjaga orisinalitasnya dari pengaruh-pengaruh aliran silat yang lain, terutama di Wanayasa.

Keunikan tersebut, menurut para pengikut ajaran Syahbandar di Wanayasa biasa, disebut dengan istilah Ulin Wanayasa. Tentu saja, Ulin Wanayasa ini sulit ditemukan di daerah lain, karena diciptakan Ama Syahbandar ketika dia sudah bermukim di Wanayasa. Di Wanayasa, Ama Syahbandar mempunyai banyak murid, di antaranya Ama Wekling. Disebut Ama Wekling, karena jabatannya saat itu adalah mantri guru, yang disebut 'wekling' dalam bahasa Belanda.

Namanya, menurut salah seorang keturunannya dari Sagalaherang, adalah Raden Subrata. Ama Syahbandar meninggal dunia di Wanayasa dalam usia 114 tahun, yakni pada tahun 1880. Jasadnya dimakamkan berdampingan dengan istrinya Eyang Bubu. Makam Syahbandar berada di kompleks pemakaman umum di sebelah barat daya pasar domba Desa Wanayasa, Berbeda dengan makam-makam tokoh sejarah lainnya, makam Ama Syahbandar sudah ditembok dan di keramik bagian pinggirnya. Selain itu tak jarang lokasi ini menjadi tempat ziarah terutama mereka yang kini masih melestarikan seni bela diri pencak silat.

Mengenal Nyi Ageng Serang

Mengenal Nyi Ageng Serang, Pahlawan Perjuangan Wanita dari Jawa Tengah 

NAMANYA sangat kesohor dan menjadi salah satu sosok pahlawan perempuan. Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi atau Nyi Ageng Serang merupakan pahlawan perempuan Indonesia yang turut serta ke medan perang.

Dia merupakan panglima perang yang dikenal memiliki banyak strategi saat melawan penjajah. Salah satu strategi cerdasnya adalah penyamaran. Ia mengelabuhi musuh dengan menyamar menjadi semak dengan bermodalkan lembu atau daun talas hijau.

Dikutip dari sejarah budaya.jogjakarta selama peperangan, Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang. Bahkan, ia secara langsung pernah memimpin gerilya di sekitar Desa Beku, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, makai ia harus selalu siap untuk bertempur melawan para penjajah.

Pada 1825 atau masa awal Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang yang saat itu berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Selain turun langsung ke medan perang, ia juga didaulat menjadi penasihat perang.

Atas permintaan Diponegoro, ia mendekati Yogyakarta dan bermarkas di Prambanan. Dengan demikian, ia memiliki hubungan langsung dengan Kraton dan dapat memberikan nasihat kepada Sultan Sepuh (Hamengku Buwono II).

Perjuangan perang Nyi Ageng Serang terhenti pada tahun 1838. Pada tahun tersebut, Nyi Ageng Serang wafat di usia 86 tahun.

Adapun, Nyi Ageng Serang merupakan putri dari seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah, yakni Pangeran Natapraja. Selain penguasa, Pangeran Natapraja juga merupakan seorang Panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I.

Wanita kelahiran Serang tersebut juga merupakan salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga. Nyi Ageng Serang juga dikenal sebagai nenek dari R.M. Soewardi Surjaningrat atau yg lebih di kenal dgn nama Ki Hajar Dewantara.

Nama RA Kustiyah Wulaningsih Retno Edi Yg di sebut puteri serang Atau Nyi Ageng Serang Tetap Teruji Sepangjang Masa Sebagai Wanita Pejuang

Pemerintah RI Dengan SK Presiden No. 084/TK/1974, Tertanggal 13 Desember 1974 Menganugerahi Nyi Ageng Serang dengan Gelar Pahlawan Nasional.

Nyonya Meneer

Nyonya Meneer seorang wirausahawan wanita yang dikenal sebagai pelopor industri jamu di Indonesia
Nyonya Meneer, yang memiliki nama asli Lauw Ping Nio, lahir pada tahun 1895 di Sidoarjo, Jawa Timur. Dia adalah seorang wirausahawan wanita yang dikenal sebagai pelopor industri jamu di Indonesia. Nama "Meneer" diambil dari kata "Menir," yaitu sisa butir halus penumbukan padi, yang merupakan hasil dari keinginan sang ibu saat mengandungnya. Ejaan Belanda yang digunakan pada saat itu mengubah "Menir" menjadi "Meneer," yang menjadi nama legendarisnya hingga kini.

Setelah menikah dengan Ong Bian Wan, Nyonya Meneer pindah ke Semarang. Di tengah masa pendudukan Belanda yang penuh tantangan pada tahun 1900-an, suaminya jatuh sakit parah, dan berbagai usaha pengobatan tidak berhasil. Dalam keputusasaan, Nyonya Meneer kembali pada tradisi keluarganya dengan meramu jamu Jawa yang telah diwariskan oleh orang tuanya. Keajaiban terjadi ketika suaminya sembuh, yang menguatkan tekadnya untuk memproduksi jamu sebagai cara untuk membantu orang lain di sekitarnya.
Dengan peralatan dapur yang sederhana, ia mulai memproduksi jamu untuk keluarga, tetangga, dan masyarakat. Melihat antusiasme yang besar, Nyonya Meneer mulai mengembangkan usahanya. Pada tahun 1919, berkat dorongan dari keluarga, ia mendirikan "Jamu Cap Potret Nyonya Meneer," yang menjadi cikal bakal salah satu industri jamu terbesar di Indonesia. Ia bahkan mencantumkan nama dan potret dirinya pada kemasan jamunya sebagai bentuk keakraban dan keterikatan dengan pelanggan.
Perusahaan ini terus berkembang, dibantu oleh anak-anaknya yang turut terlibat. Pada tahun 1940, putrinya, Nonnie (Ong Djian Nio), membuka cabang di Jakarta, di Jalan Juanda, Pasar Baru. Di bawah kepemimpinan Nyonya Meneer dan putranya, Hans Ramana, perusahaan mengalami pertumbuhan pesat.
Nyonya Meneer meninggal dunia pada tahun 1978, tetapi warisannya terus hidup melalui generasi kedua dan ketiga, yang dikelola oleh cucunya, Charles Saerang. Meskipun awalnya ada lima bersaudara yang mengelola perusahaan, mereka memutuskan untuk berpisah, dan kini Charles Saerang menjadi satu-satunya pemilik dan pengendali perusahaan. Dengan segala perjuangan dan inovasi yang telah ditorehkan, Nyonya Meneer bukan hanya menjadi nama, tetapi juga simbol kekuatan wirausaha wanita di Indonesia, yang menginspirasi generasi masa kini dan yang akan datang.

Klobot adalah jenis rokok yang pertama kali

Klobot  adalah jenis rokok yang pertama kali diproduksi oleh  pendiri Gudang Garam Surya Wonowidjojo
Klobot  adalah jenis rokok yang pertama kali diproduksi oleh  pendiri Gudang Garam di  awal masa merintis usaha rokoknya tahun 1956. 

Rokok ini diberi nama merek Inghwie. Sesuai dengan nama pendiri perusahaannya yaitu Tjoa Ing-Hwie atau Surya Wonowidjojo.

Merek Inghwie cuma bertahan dua tahun. Pemiliknya mengganti nama mereknya menjadi Tjap Gudang Garam pada tanggal 28 Juni 1958.

Perusahaan rokok Gudang Garam adalah salah satu industri rokok terkemuka di tanah air yang telah berdiri sejak tahun 1958 di kota Kediri, Jawa Timur. Hingga kini, Gudang Garam sudah terkenal luas baik di dalam negeri maupun mancanegara sebagai penghasil rokok kretek berkualitas tinggi. Produk Gudang Garam bisa ditemukan dalam berbagai variasi, mulai sigaret kretek klobot (SKL), sigaret kretek linting-tangan (SKT), hingga sigaret kretek linting-mesin (SKM).

Tahun 1958 Adalah titik berdirinya perusahaan rokok Gudang Garam yang bermula dari sebuah industri rumahan. Produk kretek yang diproduksi pertama kali adalah SKL dan SKT. Berawal dari industri rumahan, perusahaan kretek Gudang Garam telah tumbuh dan berkembang seiring tata kelola perusahaan yang baik dan berlandaskan pada filosofi Catur Dharma. Nilai-nilai tersebut merupakan panduan kami dalam tata laku dan kinerja perusahaan bagi karyawan, pemegang saham, serta masyarakat luas.

Apa yang dicapai Gudang Garam saat ini tentunya tidak terlepas dari peran penting sang pendiri, Surya Wonowidjojo. Beliau adalah seorang wirausahawan sejati yang dimatangkan oleh pengalaman dan naluri bisnis. Di mata para karyawan, beliau bukan hanya berperan sebagai pemimpin, melainkan juga merupakan sosok seorang bapak, saudara, serta sahabat yang amat memperhatikan kesejahteraan karyawan.

Surya Wonowidjojo meninggal dunia pada 28 Agustus 1985 dengan meninggalkan kesan mendalam bukan hanya di mata karyawan, melainkan juga di hati masyarakat Kediri dan sekitarnya. 

Perjalanan Epik Kapal Selam Tua Menuju Museum

 PERJALANAN EPIK KAPAL SELAM TUA MENUJU MUSEUM

PERJALANAN EPIK KAPAL SELAM TUA MENUJU MUSEUM
Di Jerman, sebuah kapal selam tua, U-17, menjalani perjalanan luar biasa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya bukan di bawah laut, melainkan di darat! Setelah 37 tahun beroperasi sebagai bagian dari Angkatan Laut Jerman, kapal selam sepanjang 48 meter dan berbobot 450 ton ini akhirnya dipensiunkan. Namun, bukannya dibiarkan berkarat di dermaga, U-17 mendapat kesempatan kedua sebagai bagian dari sejarah di Museum Technik Sinsheim, salah satu museum teknologi paling terkenal di Eropa.

Misi Mustahil: Mengangkut Kapal Selam di Darat

Mengangkut sebuah kapal selam bukanlah tugas biasa ini adalah operasi raksasa yang membutuhkan 15 bulan perencanaan dan eksekusi! Kapal selam ini harus melintasi lebih dari 650 kilometer dari pangkalannya di Kiel menuju museum. Rute ini penuh tantangan, mulai dari penutupan jalan raya, pembongkaran rambu lalu lintas, hingga penggunaan platform khusus dengan 30 poros untuk menopang bobot raksasanya.

Setiap meter perjalanan adalah ujian ketelitian. Konvoi besar ini merayap perlahan melewati kota-kota, menarik perhatian warga yang terpana melihat kapal selam melaju di jalan raya. Dengan biaya sekitar 2 juta euro, proyek ini didanai oleh sumbangan dan dukungan para pencinta sejarah maritim.

Warisan Sejarah yang Bisa Di jelajahi

Setelah perjalanan yang menegangkan, U-17 kini beristirahat di museum dan bersiap menyambut pengunjung mulai tahun 2025. Ini adalah kesempatan langka bagi masyarakat untuk menjelajahi interior asli kapal selam, merasakan atmosfer sempit yang pernah dihuni oleh para pelaut, serta memahami kehidupan di bawah laut yang penuh ketegangan.

Dari sebuah kendaraan perang hingga artefak sejarah, perjalanan U-17 bukan hanya kisah logistik yang luar biasa, tetapi juga upaya luar biasa untuk melestarikan warisan maritim bagi generasi mendatang. Sebuah petualangan darat yang tak kalah mendebarkan dari kisah bawah lautnya!