Minggu, 28 September 2025

Toko Merah Tragedi Geger Pecinan 1740 Sejarah Batavia

TOKO MERAH DAN TRAGEDI GEGER PECINAN 1740
DARAH, MISTERI, DAN SEJARAH BATAVIA

Toko Merah Tragedi Geger Pecinan 1740 Sejarah Batavia
Toko Merah Jakarta Barat

Toko Merah di kawasan Kali Besar, dekat Glodok, memang sering dikaitkan dengan sejarah kelam pembantaian etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 (peristiwa yang disebut Geger Pecinan).

Fakta sejarahnya:
Toko Merah dibangun sekitar tahun 1730 oleh Gustaaf Willem Baron van Imhoff, yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC. Tahun 1740, terjadi kerusuhan besar, ribuan orang Tionghoa dibantai oleh VOC di Batavia, terutama di kawasan sekitar Glodok, Kali Besar, dan sekitarnya. Setelah kerusuhan itu, banyak rumah orang Tionghoa di Glodok hangus dan ribuan jiwa melayang.

Namun, Toko Merah sendiri bukan tempat resmi eksekusi/pembantaian. Gedung ini lebih dikenal sebagai rumah pejabat Belanda dan kemudian dipakai untuk berbagai fungsi (kediaman, kantor dagang, sekolah perwira).

Mengapa ada cerita Toko Merah sebagai tempat pembantaian.?
Karena lokasinya yang sangat dekat dengan pusat kerusuhan (Kali Besar-Glodok). Warna merah tembok gedung sering dikaitkan dengan “darah korban” (ini lebih ke legenda rakyat). Jadi, secara historis pembantaian 1740 memang terjadi di kawasan sekitar Toko Merah, tapi bukan di dalam bangunan itu sendiri.

GEGER PECINAN 1740 – PEMBANTAIAN TIONGHOA DI BATAVIA
1. Latar Belakang
Awal abad ke-18, Batavia menjadi kota dagang penting VOC. Banyak orang Tionghoa bermigrasi ke Batavia, bekerja sebagai tukang, pedagang gula, hingga penyewa tanah, Jumlahnya sangat besar: sekitar 15–20 ribu jiwa (± separuh penduduk Batavia kala itu).

VOC khawatir karena jumlah mereka terus bertambah, sementara harga gula jatuh drastis, menyebabkan banyak pengangguran dan keresahan sosial. VOC lalu membuat kebijakan keras: menangkap, mengusir, dan mendeportasi orang Tionghoa ke Ceylon & Afrika Selatan.

2. Pemicu Konflik
Deportasi dilakukan secara paksa dengan kapal. Kabar beredar bahwa banyak orang Tionghoa yang dilempar ke laut dalam perjalanan. Hal ini menimbulkan kemarahan dan perlawanan dari komunitas Tionghoa di Batavia. Pada 7 Oktober 1740, terjadi perlawanan: sekelompok orang Tionghoa menyerang pos Belanda di dekat Batavia.

3. Pembantaian 1740
Tanggal 9–22 Oktober 1740, VOC bersama tentara Eropa dan pribumi melakukan serangan balasan, Ribuan orang Tionghoa dibantai di rumah, jalan, dan tempat persembunyian, terutama di kawasan Glodok, Kali Besar, Angke, dan sekitarnya. Diperkirakan 10.000 orang Tionghoa terbunuh dalam kurun waktu dua minggu. Rumah-rumah mereka dibakar habis. Banyak yang melarikan diri ke luar Batavia, terutama ke arah timur (Bekasi, Cirebon, Semarang).

4. Toko Merah dan Legenda
Toko Merah sendiri sudah berdiri (dibangun 1730 oleh van Imhoff). Karena letaknya di Kali Besar Barat tepat di jantung kerusuhan – bangunan ini sering dikaitkan dengan peristiwa berdarah tersebut.

Legenda rakyat menyebut Tembok merahnya melambangkan darah para korban. Konon pernah dijadikan pos Belanda saat operasi pembersihan etnis Tionghoa. Secara sejarah akademis, tidak ada catatan resmi bahwa eksekusi dilakukan di dalam Toko Merah. Tetapi kawasan sekitarnya memang jadi pusat pembantaian.

5. Dampak Besar
Setelah tragedi, komunitas Tionghoa dipindahkan paksa keluar dari benteng Batavia. Mereka ditempatkan di Glodok (karena itu Glodok jadi Pecinan utama Jakarta hingga sekarang).
Toko Merah dibangun sekitar tahun 1730 oleh Gustaaf Willem Baron van Imhoff

VOC memperketat aturan: orang Tionghoa harus punya surat izin tinggal (passen stelsel), jam malam, dan dilarang tinggal di dalam kota benteng. Tragedi ini meninggalkan luka sejarah mendalam bagi komunitas Tionghoa di Indonesia.

Peristiwa Geger Pecinan 1740 adalah salah satu tragedi terbesar di Batavia: pembantaian ±10.000 etnis Tionghoa oleh VOC. Toko Merah bukan lokasi resmi pembantaian, tapi karena berada di sekitar pusat tragedi, bangunan itu ikut terselimuti aura sejarah kelam.

KEHADIRAN ORANG TIONGHOA DI BATAVIA
1. Awal Kedatangan
Sejak abad ke-16, pedagang Tionghoa sudah singgah di pelabuhan Sunda Kelapa (Jayakarta). Setelah VOC menguasai Jayakarta tahun 1619 dan mengganti namanya jadi Batavia, orang Tionghoa semakin banyak didatangkan. VOC butuh mereka karena dikenal pandai berdagang, mengelola gula, kerajinan, dan pertukangan.

2. Peran Penting dalam Ekonomi
Orang Tionghoa menguasai industri gula (komoditas utama ekspor Batavia). Banyak yang menjadi tukang kayu, kuli pelabuhan, pedagang keliling, sampai kapiten Tionghoa (pemimpin komunitas resmi di bawah VOC). Mereka juga membangun rumah, toko, dan kuil di sekitar pelabuhan.

3. Jumlah Penduduk
Tahun 1620-an: baru ribuan orang.
Tahun 1730-an: jumlahnya melonjak jadi 20–25 ribu jiwa, hampir setengah penduduk Batavia saat itu.
Ini yang membuat VOC khawatir, karena dianggap bisa mengancam dominasi Belanda.

4. Pecinan & Glodok
Awalnya orang Tionghoa bisa tinggal di dalam benteng Batavia. Setelah pembantaian 1740 (Geger Pecinan), mereka dipaksa pindah keluar benteng ke wilayah Glodok. Sejak itu Glodok jadi pusat Pecinan Jakarta, dan sampai sekarang masih dikenal sebagai kawasan Tionghoa terbesar.

5. Jejak Budaya
Kuil tertua di Jakarta, Vihara Dharma Bhakti (1650), berada di Glodok. Banyak tradisi Imlek, Cap Go Meh, dan barongsai sudah ada sejak era VOC.
Kuil tertua di Glodok Jakarta Vihara Dharma Bhakti (1650)
Vihara Dharma Bhakti (1650)

Kuliner Tionghoa juga berkembang, misalnya bakmi, lumpia, sampai kue keranjang. Jadi, benar zaman dulu orang Tionghoa sudah banyak di Batavia, bahkan sejak abad ke-17. Mereka memberi kontribusi besar pada perdagangan dan budaya, tapi juga mengalami diskriminasi dan tragedi seperti Geger Pecinan 1740.

SISTEM PEMERINTAHAN KOLONIAL UNTUK ORANG TIONGHOA DI BATAVIA

1. Kapitan Cina (Kapitein der Chinezen)
VOC menunjuk pemimpin resmi komunitas Tionghoa, disebut Kapitan Cina.

Tugas Kapitan:
-Mengatur kehidupan sosial & ekonomi komunitas Tionghoa.
-Menarik pajak dari pedagang Tionghoa.
-Menjadi penghubung antara VOC dan rakyat Tionghoa.
-Mengadili sengketa internal.
-Kapitan Cina punya kedudukan tinggi, tinggal di rumah besar, sering dekat dengan VOC.

Tokoh terkenal:
Souw Beng Kong (Kapitan pertama, diangkat 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen). Kapitan Ni Hoe Kong (memimpin orang Tionghoa saat Geger Pecinan 1740). Di bawah Kapitan ada Letnan Cina dan Mayor Cina, membentuk semacam struktur pemerintahan sendiri.

2. Pecinan dan Pembatasan Wilayah
Setelah Geger Pecinan 1740, orang Tionghoa dipaksa tinggal di kawasan khusus: Glodok (Pecinan Batavia). Mereka tidak boleh tinggal di dalam benteng kota Belanda. Pecinan dilengkapi gerbang dan dijaga tentara VOC, sehingga akses keluar-masuk sangat diawasi.

3. Passen Stelsel (Surat Jalan)
Diterapkan setelah tragedi 1740 untuk mengontrol pergerakan orang Tionghoa. Aturannya Orang Tionghoa wajib membawa surat izin (passen) kalau ingin bepergian keluar Pecinan. Kalau tidak punya, bisa ditangkap atau dihukum. Sistem ini membuat orang Tionghoa selalu dalam pengawasan pemerintah kolonial.

4. Mengapa VOC Membuat Sistem Ini.?
Karena jumlah orang Tionghoa sangat besar dan dianggap bisa menjadi ancaman politik. VOC butuh mereka untuk ekonomi (dagang, gula, pajak), tapi takut mereka melawan. Dengan Kapitan Cina & passen stelsel, VOC bisa “mengendalikan” komunitas Tionghoa tanpa harus terjun langsung ke setiap urusan.

5. Dampaknya
Positif:
-Komunitas Tionghoa punya pemimpin sendiri, sehingga tradisi & budaya tetap terjaga.
-Pecinan berkembang jadi pusat perdagangan dan budaya Tionghoa.

Negatif:
-Diskriminasi & segregasi (pemisahan wilayah dan pembatasan gerak).
-Tergantung pada Kapitan Cina yang sering dianggap “perpanjangan tangan VOC”.
-Memunculkan kerentanan, seperti tragedi 1740.

Sistem Kapitan Cina dan passen stelsel adalah cara VOC menjaga kontrol atas komunitas Tionghoa di Batavia, di satu sisi diberi otonomi terbatas, di sisi lain dibatasi ketat. Inilah cikal-bakal mengapa sampai sekarang Glodok menjadi pusat komunitas Tionghoa di Jakarta.

TEMPAT PEMAKAMAN KORBAN TRAGEDI DI BATAVIA (JAKARTA)

1. Pembantaian Tionghoa 1740 (Geger Pecinan)
Korban ±10.000 jiwa. Banyak jasad dibuang ke Kali Besar, Sungai Ciliwung, dan laut → mayat mengapung berhari-hari. Sebagian dikuburkan secara massal di tanah kosong sekitar Glodok dan Angke. Ada catatan Belanda: di luar tembok kota, terutama arah selatan & barat (sekarang sekitar Mangga Besar, Angke, Glodok) dijadikan kuburan massal.

2. Eksekusi di Stadhuis (Museum Fatahillah Sekarang)
Tahanan yang digantung atau dipancung biasanya dikuburkan di Tanah Abang Kerkhof (kuburan umum Belanda, sekarang jadi kawasan Tanah Abang). Sebagian lagi dimakamkan di pemakaman khusus tahanan dekat benteng kota (lokasinya sekarang sudah jadi area Kota Tua & sekitarnya).

3. Wabah & Penyakit di Batavia
Batavia dikenal sebagai “Kerkhof der Oost” (kuburan besar di Timur) karena sangat mematikan akibat malaria & kolera. Ribuan orang Belanda & pribumi mati muda. Orang Belanda dimakamkan di Ereveld Menteng Pulo (kemudian dipindah sebagian dari kuburan lama), Tanah Abang Kerkhof, dan beberapa gereja tua (misalnya di halaman Gereja Sion, Pinangsia). Orang pribumi & budak biasanya dikubur massal di luar benteng, tanpa batu nisan.

4. Kuburan Tionghoa (Boen Bio / Petak Sembilan – Glodok)
Sejak abad ke-17, komunitas Tionghoa punya kompleks pemakaman sendiri. Vihara Dharma Bhakti (Petak Sembilan) dipercaya dulunya dikelilingi area kuburan Tionghoa. Banyak korban kerusuhan & wabah dimakamkan di tanah-tanah komunitas Tionghoa sekitar Glodok.

5. Makam-makam Tua yang Masih Ada
-Gereja Sion (Jakarta Kota): ada kuburan orang Belanda & pejabat VOC (nadi sejarahnya masih terlihat).
-Museum Taman Prasasti (Tanah Abang): dulu pemakaman Belanda sejak 1795, sekarang jadi  museum batu nisan.
-Ereveld Menteng Pulo & Ancol: pemakaman perang Belanda & korban Perang Dunia II, tapi sebagian isinya pindahan dari pemakaman lama Batavia.

Kesimpulan:

Banyak korban pembantaian (1740) tidak dimakamkan secara layak, melainkan dibuang ke sungai atau dikubur massal di Glodok–Angke. Tahanan eksekusi biasanya dimakamkan di Tanah Abang atau kuburan kota. Orang Belanda punya pemakaman elit (seperti di gereja & Tanah Abang), sementara orang Tionghoa dan pribumi punya kompleks sendiri (Glodok & sekitarnya).

0 komentar:

Posting Komentar